Penonton Bayaran Pasti Alay, Benar? - TELEmisi

Sunday, June 10, 2018

Penonton Bayaran Pasti Alay, Benar?

TELEmisi
Part 2: Penonton bayaran seringkali di-cap “alay” oleh netizen atau warganet, dan penonton televisi secara luas. Apakah penonton bayaran memang alay?

Welcome back with me, on TELEmisi! Asik gak? Bukan bermaksud pamer bisa bahasa Inggris atau gimana, cuma iseng aja! Jadi santai aja! Gak usah pakai komen-komen sok ke-bule-bule-an!

money.id
Noh, dia yang sok ke-bule-bule-an! Kalau gak, mungkin namanya Lukal Herlino! Itu sok ke-lokal-lokal-an! Ngomong apa sih? Lanjut!

Jadi ini akan jadi potongan kedua dari serangkaian artikel saya tentang penonton bayaran. Karena ini potongan, saya anjurkan untuk baca dari awal biar ada gambaran secara utuh. Tapi, karena ini bersifat anjuran, gak harus diikutin juga sih! Toh, ini juga bukan anjuran dokter! Ini hanya anjuran manusia biasa, yang tak sempurna, dan kadang salah..

Google
Klik disini untuk membaca bagian pertama dari pembahasan TELEmisi seputar penonton bayaran, Penonton Bayaran dan Televisi!

Oke, kalau di bagian pertama lalu saya membahas garis besar soal penonton bayaran dan kenapa televisi memakai jasa mereka, bagian kedua kali ini akan membahas apakah “Penonton Bayaran = Alay”?

Dari rangkaian rencana pembahasan saya, saya rasa ini adalah salah satu bagian yang paling menarik untuk saya kupas. So, let’s go!

Kata “alay” sendiri sempat heboh beberapa waktu lalu. Seingat saya, kehebohan ini dimulai disaat Om Deddy (biar kesan muda aja, tapi emang masih muda, percaya aja) membuat video yang membahas kata ini. Lalu, kehebohan ini berlanjut ketika ini juga dibahas di tempat-tempat lain. Bahkan sempat panas ketika ada beberapa pihak yang merasa tersindir.

Kalau mau jujur, setelah kehebohan ini, saya masih gak menangkap sih esensi atau makna sebenarnya dari kata alay itu sendiri. Disaat saya iseng-iseng mencari makna alay, saya nemu di salah satu web, dan salah satu makna yang saya rasa cukup sesuai.

Disitu tertulis bahwa kata alay adalah anak layangan, anak muda yang belum punya pendirian, cenderung rada norak! Norak tahu lah, ya! Gak usah dijelasin sendiri lagi! Capek! Satu belum kelar, masa satu lagi!

Sebelum memulai pembahasan kali ini, mari kita samakan persepsi. Alay yang akan saya maksudkan adalah yang kurang lebih sesuai dengan makna diatas, karena kalau tidak dikhususkan, jangkauan kata ini luas sekali.

Jadi, apakah Penonton Bayaran = Alay? Bingung? Biar saya bantu! Nih!

Hipwee
Gimana? Kalau saya sih tegas.. IYA! ALAY! NORAK!

Kalian ngarepin itu clickbait? GAK! INI BENERAN! Kita realistis aja lah, jujur-jujuran aja! Gaya pakaian mereka norak, gak? Joget-joget gitu norak gak? IYA! Setidaknya buat saya, lho! Beda pendapat silahkan!

Jadi, Penonton Bayaran = Alay?

giphy.com
Nah, yang ini baru TIDAK! Lho kenapa? Tadi, iya, sekarang, gak?

Begini, tadi saya mengomentari foto diatas, bukan keseluruhan! Nah, sekarang gambar kedua!

merdeka.com
Alay gak? Norak gak? Kalau buat saya sih gak! Tapi bayaran gak? Bisa aja! Bahkan menurut saya, iya!

Sampai disini, ada dua contoh kasus, dimana satu bisa kita (atau saya) anggap alay tapi satu lagi tidak! Sampai sini sudah bisa saya tarik kesimpulan? Maybe, tapi kayaknya kepagian deh! Jadi kita bahas lebih lanjut yuk biar semakin meyakinkan!

Apa sih yang ngebedain foto pertama sama foto kedua, kalau mereka sama-sama penonton bayaran? Tempat duduk, yes! Stasiun televisi, yes! Apalagi? Kalau kita tarik garis besar, yang membedakan adalah permintaan pihak stasiun televisi yang menggunakan jasa mereka.

Mereka ini pekerja lho, mereka mencari uang. Sebagai pekerja, mereka pasti memiliki atasan yang mereka ikuti. Hal ini akan saya jelaskan secara rinci di bagian berikut-berikutnya, jadi nantikan saja! Secara singkat, pihak televisi merupakan salah satu bahkan yang tertinggi.

Sebelum sebuah acara dimulai, para penonton tersebut pasti di-brief agar tindak tanduk mereka sesuai dengan permintaan atau konsep dari acara tersebut. Lalu, kalau mereka bergaya norak, salah mereka?

Pak Ahok dulu sempet bilang, kalau kepalanya lurus, bawahannya pasti gak berani menyimpang. Bener banget! Tapi jangan gara-gara saya setuju, saya di.. AH SUDAHLAH!

Misalnya, kamu bekerja sebagai seorang SPG (sales promotion girl) lalu kamu ditugaskan untuk mempromosikan produk perusahaanmu di Jakarta Fair, sebut saja sebuah motor keluaran terbaru.

Tapi, kalau aku pria, gimana? Ya, bayangin aja! Tapi, gak usah pakai ngeliat referensi di web yang enggak-enggak! Kalau web yang iya-iya, boleh! Bagi-bagi juga kalau bisa! Kalau mau ngelamar jadi SPG juga bisa, tapi ya PASTI DITOLAK! Eh belom tentu.. NO COMMENT! Lanjut!

Kamu sebagai wanita lalu diminta untuk mengenakan baju yang minim, rok pendek. Kamu akan lakukan? Kalau kamu masih mau kerja, iyalah! Kalau gak gaji gak turun, iya apa ya?

Terus disaat kamu lagi bekerja, siang-siang, menawarkan produk motor, kamu diomongin sama orang-orang yang berlalu-lalang di Jakarta Fair, “Aduh, kerja kok jualan paha! Gak tau malu! Gak tau etika, ya! Emang orang tuanya gak ngajarin apa?” Bahkan ada orang tua yang ngomong ke anaknya, “Nak, nanti gede jangan begitu ya! Kerja itu yang bener, jangan umbar aurat doang!”

Sakit hati gak? Bisa jadi! Kesel gak? Ya, bisa jadi! Mungkin dalam hati kita akan ngebatin, “Gak tau apa? Kalau gua bisa milih, gua juga gak mau kali make baju begini! Lu pikir gua seneng? Tapi mau gimana lagi, kalau gak gua gak dapet duit! Gua gak bisa makan!” Tenang dulu, ya!

Nah sekarang begini, apa adil kalau kita memukul rata semua dengan berkata, “SPG cuma jual aurat untuk menarik pembeli, SPG = Pelacur!” Adil? YA JELAS GAK! ITU SANGAT JAHAT!

Sebagian ya, tapi banyak juga yang gak, bahkan lebih banyak! Sales di pameran buku gak pakai baju-baju seksi tuh! Bukan cuma itu, masih banyak, tapi yang kepikiran disaat saya nulis cuma itu jadi maklumi aja!

Kasus ini bisa dibilang serupa dengan penonton bayaran yang lagi kita bahas. Serupa tapi tak sama. Jadi, konteksnya bisa kita ambil. Saya bukan pengen mendiskreditkan satu pihak, saya hanya berpendapat. Kenapa hanya berpendapat? Karena saya belum kerja! Kalau sudah kerja jadi.. berpendapatAN!

giphy.com
Thanks lho, responnya! Saya tahu kalian pasti terbahak-bahak ketika membacanya! Gak papa terbahak-bahak, daripada..

Google
Udah setingan lagi, eh keceplosan! Lain kali kita bahas ini asyik juga!

Masuk ke kesimpulan, jadi apakah penonton bayaran = alay? TIDAK! Bagi saya, statement tersebut akan jadi lebih tepat dan bijak jika tanda sama dengan diganti dengan kata: bisa jadi! Penonton Bayaran (Bisa Jadi) Alay!

Penonton Bayaran (Bisa Jadi) Alay!

Setuju atau tidak? Saya sangat tertarik untuk membahas ini dengan kalian semua. Silahkan tinggalkan komentar kalian, dan nantikan bagian selanjutnya dari pembahasan penonton bayaran ini! Semoga menghibur selagi tetap memberikan informasi dan edukasi!

Jangan lupa pula, subscribe ke blog ini hanya dengan mencantumkan email kalian dalam kolom seperti gambar dibawah ini, di home page blog ini buat kalian yang menggunakan smartphone dan di samping artikel ini bagi kalian yang menggunakan laptop maupun komputer!

TELEmisi
Ini akan sangat membantu saya untuk terus membuat artikel menarik yang sesuai dengan apa yang kalian inginkan. Maju terus pertelevisian Indonesia!

No comments:

Post a Comment